Seuntai Kisah Sebutir Debu
Judul Buku : Hanya Sebutir Debu
Penulis : Sandi Firly
Penerbit : Quanta, PT. Elex Media
Komputindo
Cetakan : 2014
Jumlah
Halaman : 183 Halaman
ISBN : 978-602-02-3762-6
Peresesnsi
: Lisvi Nael,
“Aku hanyalah
sebutir debu dalam genggaman angin...”
Siapa sangka kehidupan atau nilai dari seorang tak
lebih dari hanya sebutir debu?, itulah gambar dan ekspresi yang ingin dituang
dan digambarkan Sandi Firly mengenai manusia lewat novelnya Hanya Sebutir Debu,
yang saya tangkap. Nilai dan gambar ini ia hadirkan lewat sosok pemuda yang
belum genap berusia tujuh belas tahun ternama Rozan.
Ketika
tahu novel inilah yang mengantarkan Sandi Firly ke Ubud Writers and Readers
Festival (UWRF) 2011, ini memberikan ekspektasi yang melambung. Namun setelah
membaca, harapan saya mendapatkan sebuah cerita yang membekas dalam pun sirna.
Bukan karena ceritanya tidak bagus apalagi jelek. Hanya saja membacanya tidak
mengefek dramatis buat saya. Sedikit saya kisahkan cerita dalam novel ini.
Rozan
saat hampir tujuh belas tahun diharuskan pergi untuk merantau atau tepatnya
belajar ke Rantau oleh kedua orang tuanya di Martapura. Hal ini membuat dugaan
Rozan mengenai jati dirinya pun membesar, bahwa dia bukanlah anak kandung kedua
orangtuanya. Di Rantau inilah jati dirinya mulai terungkap dengan banyaknya
peristiwa yang terjadi dalam waktu tak terlalu lama. Pemandangan Rantau yang
merupakan jalanan antar provinsi dan merupakan jalan yang dilalui truk-truk
pengangkut batu bara membuatnya merasa seperti di kota hantu. Pertemuannya
dengan keluarga Ismail sebagai guru mengaji Kira, putri dari pak Ismail
mendekatkan dia pada kenyataan paling dekat menganai jati dirinya. Ia pun
bertemu dengan para tacut (preman/ jawara) para pengaman tanah pertambangan
batu bara. Salah seorang tacut yang mengesankan hatinya adalah Jatra, Jatra pun
seakan pernah mengenal Rozan.
Ibunda
Kira merasa sakit hati lataran pernikahannya diduakan setelah sepuluh tahun
oleh suaminya dengan seorang perempuan di Yogyakarta bernama Sarah. Lewat Rozan
ia ingin membalas dendam menyakiti Sarah dengan menyakiti Rozan. Melalui ibunda
Kira lah akhirnya Rozan tahu bahwa keyakinannya benar bahwa ia bukan anak
kandung kedua orangtuanya. Mengetahui Sarah akan datang ke Martapura menjadikan
ibunda Kira semakin dendam, dan ia pun mejadi dalang penculikan Rozan. Kisah
memanas dengan tambahan perkelahian antar tacut yang melibatkan Jantra. Jantra
yang mengejar lawannya hingga ke sebuah rumah kosong dimana Rozan disekap pun
tak kuasa menahan serangan-serangan. Polisi datang dan Rozan dibebaskan serta
Jantra yang dibawa ke rumah sakit dengan ambulan dan dikelilingi Sarah, Rozan,
Guru Zaman (guru Rozan di Rantau), dan Zahra (bibinya). Pada detik-detik
terakhir itulah Jantra pahan siapa remaja yang ia kenal wajahnya, ialah anak
Sarah yang dulu pernah ia nodai dan tinggalkan. Rozan pun paham bahwa Jantra
tak lain adalah ayahnya dan Sarah adalah ibunya.
Ada
beberapa hal yang membuat saya kecewa karena ekspektasi saya tak terpenuhi. Pertama, Epilog cerita ini sederhana
dengan Rozan pergi mengelana. Menyinggahi kota-kota yang tak pernah ia lihat
dan dengar sebelumnya. Kedua, kompleksitas
yang ingin dibangun Sandi Firly sudah ada dengan banyaknya konflik yang coba
dihadirkan. Namun, keterbatasan ruang tuang saya kira telah membuat tulisan ini
cenderung memaksa. Ketiga, alur yang
saya kira sangat diarahkan supaya logis, namun justru saya tak mendapatkan
kelogisannya dan menurut saya penting adalah, dengan usia Rozan yang tak genap
tujuh belas tahun harusnya ia masih sekolah SMA. Meninggalkan Martapura berarti
meninggalkan sekolah karena di Rantau tidak ada keterangan Rozan yang
melanjutkan Aliyah atau SMAnya, tetapi hanya kegiatan Rozan mengajar mengaji di
Mushola dekat rumah Guru Zama, mengajar mengaji Kira dan mengajar di madrasah.
Hal ini yang membuat kelogisan cerita ini menjadi sumbang. Keempat, penggalian konflik tambang yang menjadi unsur lokalitas
tidak terlalu dalam, padahal saya kira ini akan menjadi nilai plus dari novel
ini. Bukan saya meragukan Sandi Firly dalam menciptakan kompleksitas dan
menghadirkan banyak tokoh untuk dirangkai menjadi satu kisah utuh, tetapi
justru banyak tokoh ini membuat ceritanya sedikit mudah ditebak.
Terlepas itu semua saya tetap mengapresiasi novel
ini, karena ide untuk menyampaikan pendangannya mengenai nilai dari kehidupan
atau seorang manusia di dunia ini, di kefanaan. Selain itu ia juga menekankan
akan wajah kehidupan yakni dikotomis hitam dan putih, jahat dan baik, kotor dan
bersih lewat karakter-karakter tokohnya.
Komentar
Posting Komentar