Everlasting Love for Neverending Stories :D
Langit boleh mendung, angin boleh
berhebus menggigilkan akan tetapi semangat untuk bertemu dan mengobrolkan buku
kumpulan cerita Everlasting Love tak boleh dan memang tak surut. Bertempat di
sekretariat (tak resmi) BookLicious yakni Green Camp Us café, diskusi buku arisan
putaran ke dua GagasMedia pun kami langsungkan setelah lebih dari satu jam
menunggu satu personel yang tak kunjung datang, Ummul Khasanah alias Hass (mana
tepuk tangannya??? Haha). Setelah Hass datang, lengkaplah anggota BookLicious
yang turut dalam proyek arisan buku dari GagasMedia dengan anggota Rasyid
Ridho, Ichal (yang kulupa nama aslinya ~.^ ), Egha, Khoirul Amin, Sandy
Iswahyudi, Yuni Sunaya, saya sendiri (Lisvy NAel. f) dengan ketambahan teman
Hass yang segera juga jadi teman kita, Herlin (selamat datang di BookLicioous
Herlin :D ).
Buku Everlasting Love ini memberikan
arti dan kesan masing-masing pada setiap anggota. Maka mulai lah mengedarkan
kesempatan dan waktu untuk masing-masing penerima buku EL ini dan diawali
dengan super bawel speech oleh saudara Ichal yang duduk diseberang saya. Ichal
yang selalu meminta untuk dicatat semua kata-katanya (ingat ya, every words!
Kalimat ini ia ulangi hampir sejuta kali dan hampir membuat saya mual-mual dan
pengen pingsan kalo saja nasi goring saya tak keburu datang, syukurlah tak jadi
pingsan) memulai obrolan dengan sebuah kutipan yang entah siapa pernah
mengatakannya “Setiap anak berhak lahir dari rahim seorang yang cerdas/ bijak”
(kamu mengulang beberpa kali seingat saya dengan redaksi yang sedikit berubah
misal dari cerdas jadi bijak dan dari rahim jadi ibu :P). kutipan ini menjadi
pengantar untuknya menyampaikan cerita pilihan yang menjadi favoritnya, yakni
tulisan Ninit Yunita yang berjudul “What Do You Think?”
si Ichal |
Buat Ichal, pendidikan itu penting
banget (buat saya juga, pendidikan amat penting). Salah satu aspek terpenting
dalam proses pendidikan itu adalah rasa ingin tahu atau curiousity. Ada beberapa poin yang bisa ia tangkap dan sambungkan
dengan analisisnya mengenai pendidikan dalam tulisan Ninit. Pertama aspek
filosofisnya yakni berkaitan dengan rasa ingin tahu seorang anak yang menjadi
faktor penting dalam proses pendidikan. Anak-anak cenderung masih bebas dari
pikiran yang mendikotomis dan kaku sedangkan, ruang imajinasi mereka luas dan
tanpa tendensi apapun mereka akan bertanya segala yang mereka rasa asing.
Namun, seiring beranjak dewasa justru mausia akan dibawa pada arus hidup yang
jauh dari inti kehidupan itu sendiri lantaran segala yang menjadi perhatian
bukan lagi hal-hal yang dianggap remeh orang-orang dewasa seperti kenapa burung bisa terbang? Atau kenapa hujan turun dari
langit?.
Selain melihat nilai filsafat yang
dilihat dalam tulisan Ninit, Ichal juga mengaitkan tulisan itu dengan opini
yang ia yakini bahwa tahap kembang anak atau manusia terbagi dalam beberapa
fase. Pertama fase anak-anak yang pikirannya dikuasi oleh kebabasan berfikir
dan berimajinasi liar yang bisa terlepas dari sokongan realita. Fase kedua
adalah daya pikir remaja yang lebih berat mengembangkan atau memenuhi
imajinasinya dengan segala yang dekat dengan istilah romance atau romantika
juga sedikit mulai berpikir mengenai rasionalitas (sedikit saja). Fase ketiga
adalah sebelum dewasa yang mana pikiran sudah mulai digiring dan dibentuk (bisa
jadi lewat sekolah, bukan lagi menuduh) menjadi lebih rasionalis dan paling
idealis. Pada fase ketiga ini mungkin gambaran yang paling dekat adalah
masa-masa seorang manusia duduk di perguruang tinggi, meledak-ledak dan
rasionalis yang idealis. Fase keempat
adalah fase kedewasaan yang justru bisa dibilang dimulainya kemunduran buat
saya (eh, bukanya lagi ngomongin opininya Ichal? Balik ke topik!). Fase dimana
semua hal cenderung dinilai dari segi ke praktisan dan material semata.
Rasional dan ideologinya adalah sadar akan realita yang menuntut untuk
kehidupan yang penuh kematangan dan kecukupan. Fase kelima adalah fase usia
senja yang dikarakteristikkan sebagai masa pencerita. Masa bagi si tua untuk
berkisah dan mengenang mengenai pengalaman hebat atau nasihat dahsyat untuk
didengarkan anak-anak dan cucu-cucu mereka.
Selain dari poin-poin diatas entah
apa yang diceritakan Ichal saya tak mampu menangkap semua selain prolog yang
panjang dan epilog yang tak kalah panjang. Mendengarkan isi pikirannya mengenai
pentingnya membuat pikiran seorang terus berkembang dan hidup (bukan pada
akhirnya menjadi dewasa pada umumnya yang cenderung jauh dari inti dan nilai
kehidupan) membuat saya ingin bernyanyi lagu yang dinyanyikan Luther Vandros
“Dancing with my Father” karena pada dua bait awalnya sangat kompak dengan
opini Ichal “back when I was a child,
before life remove all the innocent.”
Lain penutur lain pula yang
dituturkan dan kesan, bahkan kali ini bahasa pun lain. Hass memilih bercerita
dengan menggunakan bahasa Inggris. Ini sangat tidak biasa dalam tradisi diskusi
BookLicious yang biasanya hanya menggunakan bahasa Indonesia. Mengau belum
menyelesaikan membaca, Hass bercerita gambaran umum apa yang mampu ia rasakan
dengan membaca cerita awal dalam buku yakni cerita milik Gita Romadhona dengan
judul Kamu, Cinta-dengan Komposisi Paling Lengkap. Cerita ini mampu
menggetarkan hatinya sebagai seorang anak sekaligus orang yang paling
berpotensi menjadi seorang ibu. Ceritanya mengharu biru dan mampu membuatnya
menitikan air mata. Hass percaya bahwa pada setiap cerita seorang ibu ada
begitu banyak pelajaran dan cerita yang tak sama. Maka ia pun merasa perlu
waktu untuk menghabiskan atau dalam arti lain memberi jeda untuknya merasakan
haru biru dan menitikan air mata dalam beberapa cerita.
and this is Hass |
Selain mengenai haru birunya
curhatan para ibu yang mampu Hass rasakan dan tangkap, menurut Hass yang menarik
dalam buku ini juga gambar-gambar lucu yang mengilustrasikan setiap cerita.
Selain gambar-gambar pada setiap bagian yang menarik, desain sampul dan warna
yang dipilih juga sangat mewakili mengenai ke-everlasting-an love ini. Nuansa
lembut dan pink yang sangat membuatnya merasa klop antara sampul dan isi (dalam
hal ini menurut saya berarti kesesuaian bungkus dan isi). Maafkan saya Hass
kalau ternyata apa yang kamu sampaikan panjang tak perlu kali lebar tak bisa
kudengar dan kutulis dengan benar dan lengkap karena saya sambil sibuk makan
dan entah bagaimana bulu-bulu ditelingaku mungkin tumbuh tiba-tiba lebih lebat
dan menghambat semua kalimatmu masuk ke siput telinga, hehe.
Penutur selanjutnya adalah Sandy.
Seingatku Sandy termasuk yang paling banyak ngomong juga tapi kenapa yang saya
catat hanya dua poin? Ah, dua poin itu pun masing-masing memiliki makna melibih
luasnya padang gurun Gobi dan Gurun Sahara. Jadi saking luasnya jangkau atau
jarak pandangku tak mampu memandang tepian gurun-gurun itu (ini bukan alibi loh
J ). Jadi setelah
baca buku EL Sandy cerita kalau menurutnya jadi seorang ibu adalah sebuah
kenikmatan yang dilaui dengan menempuh kenikmatan-kenikmatan berbeda. Masa
hamil yang membuat dunia tiba-tiba saja bisa terjungkal balik. Kesehatan dan perasaan
yang tak mudah dijaga. Belum lagi saat melahirkan tiba yang tiada tara nikmat
pedihnya apalagi yang melahirkan secara spontan (normal) plus tanpa epidural.
Untuk kenikmatan ini Sandy menyinggung globalisasi yang membawa teknologi salah
satunya dengan banyaknya metode melahirkan tanpa sakit yang menurutnya
mengurangi kenikmatan proses menjadi ibu. So, it’s our pleasure being women who
can pregnant and born children.
Hal kedua yang menurut Sandy penting
adalah mengenai cara berpikir, berucap, dan bertindak positif. Karena
pendidikan tak dimulai sejak seorang anak dilahirkan tetapi sejak ia dalam
kandungan (dan menurutku yang menurut ustadzku katakana pendidikan seorang anak
dimulai bahkan ketika seorang perempuan mulai dewasa bukan hanya sejak mulai mengandung).
Ia pun menceritakan betapa bahaya dan beraratinya sebuah kata dengan
mencontohkan apa yang mungkin terjadi pada Kristal-kristal air yang mendapat
perlakuan kasar (dicaci maki hina, direndahkan dan dilemahkan) atau air yang
mendengarkan kata-kata baik seperti pujian dan kata-kat menenangkan. Jadi
bahkan ucapan pun mampu membentuk air atau anak apalagi dengan tindakan.
Ah, aku ingat Sandy menambahkan
ketika hampir di akhir diskusi bahwa buku ini seharusnya juga dibaca oleh para
koruptor. Kenapa mereka harus baca ini buku? Karena pertama supaya mereka
setidaknya diingatkan mengenai betapa sulitnya ibu mereka melahirkan mereka dan
pada akhirnya mereka tidak berbakti dengan menjadi orang yang tidak berarti di
masyarakat. Kedua, hampir serupa dengan yang pertama tetapi bukan pada untuk
mengingatkan betapa sulitnya melahirkan melainkan untuk mengingatkan bahwa
sudah susah paying orang tua berupaya mendidik mereka agar berguna dan menjadi
orang baik tetapi malah jauh dari harapan.
Egha mendapat giliran selanjutnya untuk bertukar gagas. It Takes Two for Tango menjadi cerita yang ia sebut terlebih dahulu. Cerita itu membuatnya terinspirasi bahwa perempuan memang perlu mendapatkan partner yang bisa bekerjasama dalam setiap urusan dalam rumah yang ada tangganya, maksudnya rumah tangga (eh,). Seorang ibu kiranya akan sangat kesulitan mengasuh dan merawat sang anak tanpa andil peran seorang ayah yang siap menjadi sahabat, kolega, suami bagi sang istri. So for all independent women let’s wish that we could find our best and right partner for life and for the children.
Cerita yang kedua ia pikir juga
mengisnpirasi adalah cerita Laila Achmad yang terantuk kenyataan indah
bahwasanya pengalaman memang guru terbaik dalam kehidupan. Melalui Learn a Lot from Reference, Learn Much More
from Experience Laila Achmad merasa tertohok ketika pikiran dan
pandangannya mengenai kehidupan idealism seorang ibu yang harus mengurus
anaknya sendiri tanpa bantuan nanny,
atau seorang ibu harus menyusui anaknya sepenuhnya hingga dua tahun tanpa
memberikan tanggung jawab itu kepada sapi-sapi atau susu formula harus ia telan
pahit teori itu karena pada kahirnya pengalaman mengajarkan yang terbaik bukan
berarti selalu dari dalam diri kita dan sesuai dengan apa yang ada dalam kepala
kita. Jadi jangan sombong untuk tidak mau belajar dari kehidupan dan merasa
cukup dengan referensi. Akhrinya Egha sempat kudengar berucap kurang lebih
begini “apakah begitu susahnya menjadi ibu?” diakhir tukar pikirannya.
Penutur selanjutnya Amin, mengambil
hikmah bahwa pentingnya seorang ibu bagi setiap anak. Bahkan menjadi seorang
ibu pun sebagai manusia tak berarti terhindar pula dari perasaan-perasaan yang
seolah jahat misal merasa suntuk, kesal, dan jenuh dalam mengurusi
anak-anaknya. Jadi ia teringat pada sahabat nabi yang diam saja ketika
dimarahai sang istri. Hal ini memancing Nabi untuk bertanya mengapa ia berbuat
demikian (menirma omel sang istri), sang sahabat menjawab bahwa ia merasa tak
apa mendapat perlakuan demikian karena ia mengerti bahwa istrinya sudah bekerja
dengan berat dan kuat untuk mengurus dan menidik anaknya (tuh kan, partner yang
pengertian pasti penting banget).
Amin juga menyinggung mengenai
tulisan Lucy Wiryono mengenai komunikasi antara seorang ibu dengan ibunya
(nenek dari anaknya) demi pendidikan seorang anak. Ia sepakat mengenai
pentingnya komunkasi yang baik dan kerjasama antara ibu dan nenek dalam pola
asuh. Jangan sampai ada pihak yang akhirnya harus dikambing hitamkan menjadi
sosok jahat dan malaikat yang baik seperti yang kebanyakan terjadi ketika
seorang ibu menerapkan pola asuh yang sedikit keras kemudian nenek yang lentur
sehingga sang anak mendapatkan benteng perlindungan yang pada akhirnya membuat
hubungan ketiganya kurang baik.
Rasanya sesuatu sekali menulis
cerita teman-teman yang begitu menarik, beragam, dan penuh makna. Tapi kok ya
kenapa rasanya semakin kesini ulasannya jadi ditulis minimalis ya? Haha, maaf
ya kalau ada yang merasa berbeda. Apalagi buat Yuni, ceritanya padahal tidak
kalah banyak dan semangat tapi yang mampu kuingat dan tercatat hanya ceritanya
tentang Laila Achmad yang ia amini bahwa literature takkan cukup memberikanmu
pengetahuan oleh karenanya pengalaman tetaplah guru terbaik itu.
Yuni memuji gaya bertutur Miund’ yang menurutnya menarik dan lumayan menambah rasa humor. Penuturan semacam itu membuatnya senyum-senyum sendiri (sepertinya ini saya nambah-nambahin deh, karena sebenarnya saya yang senyum-senyum sendiri membaca tulisan Miund’). Nah, selain kedua cerita tadi Yuni menyebut-nyebut juga Surat untuk Sky Tierra Solana. Cerita mengenai hari-hari pertama Sky masuk sekolah yang membuat sang mama, Meira Anastasia merasa menjadi hari-hari yang berat baik untuk dirinya maupun untuk puterinya. Terlebih ketika hari ia memutuskan untuk tidak menunggui dan mengantarkan puterinya supaya mau membaur dengan teman-teman dan tak bergantung dengannya sehingga ia meminta suaminya untuk mengantarkan Sky ke sekolah. Perpisahan sementara itu membuat hatinya perih dengan kesadaran Sky memerlukan hal-hal semacam itu untuk kehidupannya.
Oke, selanjutnya Ridho. Menurutnya
tulisan Gita Romadhona adalah favorit karena ditulis dengan cara yang enak
dengan diksi yang menarik sehingga cerita terasa seperti sebuah karya fiksi.
Penceritaan itu pula membuat “kena” hatinya, haha. Tapi secara keseluruhan ia
berpendapat tulisan-tulisan ibu-ibu muda itu memang bagus baik dalam segi
cerita (konten) maupun bahasa karena rata-rata memang berasal dari dunia yang
tak terlalu jauh dari dunia kepenulisan seperti Gita sendiri yang merupakan
seorang editor atau seperti Ninit Yunita yang seorang istri seorang penulis.
Cerita favorit lainnya buat Ridho adalah
cerita Lucy Wiryono yang mengangkat tema komunikasi antara ibu dan nenek maupun
pola asuh. Selain karena kontennya yang menarik alasan Ridho memilih cerita
Lucy menjadi yang tervaforit juga karena banyak kutipan-kutipan yang bisa
langsung dijadikan pelajaran seperti “Seorang ibu diibaratkan batu karang untuk
anaknya. Sumber kepercayaan diri si anak adalah dari rasa percaya diri ibunya
karena anak biasanya akan mencari afirmasi perilakunya dengan melihat ibunya.
Jadi kasihan anaknya kan kalau kita jadi ibu yang lontang-lantung tanpa prinsip
yang kuat?” kutipan lain yang sempat ia bacakan juga adalah “ Jadi seorang ibu
adalah hal yang paling membahagiakan. Kamu jadi jalan lahir buat seorang
manusia lain dan sekaligus kamu bertanggung jawab untuk membantuk manusia itu
jadi baik. Makanya, tanggung jawabnya sangat besar. Jadi, seorang ibu bukan
hanya membesarkan dan merawat anak, tapi lebih dari itu.” Percaya atau tidak
saya pun sangat suka kutipan itu, pada bagian “Jadi seorang ibu adalah hal
paling membahagiakan. Kamu jadi jalan lahir buat seorang manus lain sekaligus
membentuk menjadi manusia itu jadi baik.” Entah bagaimana saya merasa saya harus
merasakannya, kebahagiaan menjadi sebuah jalan.
Well, akhirnya tibalah giliran saya
yang secara terbata awalnya namun lantang bercerita. Tak ingin banyak berucap
hanya beberapa poin saja. Pertama sudah saya katakana diatas mengenai betapa
saya pikir juga akan sangat membahagiakannya menjadi sebuah jalan lahir
manusia. Kedua, anak seperti sebuah kamera dengan memori tak terhingga yang
merekam segala aktifitas orang tuanya dan balik lagi menjadi afirmasi perilaku
anak kemudian. Ini seperti cerita lucu Smita Diastri It Takes Two for Tango ketika berlibur bersama suami dan anaknya di
Singapura. Tatakala Smita dan suaminya berselisih pendapat dan memilih diam
supaya tidak terlalu kentara, justru hal itu sangat kentara dimata Sabia, sang
puteri. Katanya “Udah, ah. Jangan diem-dieman terus,” dan dengan kalimat pendek
itu justru sang anak menjadi mediator resolusi konflik kedua orang tuanya.
Cerita lain membuat saya merasa deg adalah Surat Untuk Sky itu, ketika
pedihnya hati seorang ibu ketika melihat anaknya Nampak sangat atau lebih
bahagia saat bersama orang lain dan bukan dengan dirinya. Akankah saya akan
mampu menghadapi kepedihan itu? Saya kira ya, karena itu kebahagiaan anak saya
bukan? (belum apa-apa Vy...). Hal ini pula yang menjadikan tulisan Nia
Nurdiansyah, Ketika Kau Jatuh dan Terluka mendapatkan bintang empat. Cerita
tentang ketakutan seorang ibu akan luka yang mungkin dirasakan dan didapatkan
anaknya, ternyata luka itu akanlah lebih terasa sakit untuk sang ibu. Duh.
Buku ini secara keseluruhan
“menjengkelkan” karena ia memberikanku fantasi-fantasi membahagiaan untuk
menjadi seorang ibu, aku mau menjadi salah satu ibu. Bayi didalam kandungan
bagi saya adalah keajaiban paling ajaib diantara keajaiban-keajaiban yang
terjadi di dunia ini. Jika saya ditawari untuk berpindah dimensi (neraka tentu
saja bukan pilihan yang tepat) apakah surge atau di dunia maupun alam ruh (yang
tak pernah bisa dibayangkan siapa saja) maka aku akan memilih untuk berada di
perut seorang ibu atau dalam kandungan. Surga? Tak perlulah jika aku bisa
berada dalam kandungan, karena didalam kandungan hanya akan ada saya dan Tuhan
semata. Tempat kita berdua bisa berbicara tanpa menghitung kebaikan dan
kejahatan kita. Indah dan seajaibnya ajaib bukan?.
Oh ya, karena saya menyebutkan
tentang bintang-bintang, ada beberapa cerita yang saya tandai dengan
bintang-bintang dengan range antara
1-5 bintang. Bintang empat adalah yang paling tinggi dan dimiliki oleh Nia
Nurdiansyah. Sedangkan cerita It Takes
Two for Tango, Learn a Lot from Reference and Learn Much More from Experience, dan
Surat untuk Sky Tierra Solona mendapat bintang tiga berdasarkan kesan yang
berdenyutan didalam dada dan kedutan dimata karena cerita yang menyentuh
(idealis) dan bahasa yang tenang. Sedangkan cerita dengan bintang dua adalah What Do You Think, Kamu, Cinta-dengan
Komposisi Paling Lengkap, We Do It Our
Way, Expecting the Unexpected,
dan Teman Seperjalanan. Hem, meski berat tapi tetap saja kulakukan memberikan
bintang satu untuk dua cerita yang sebenarnya paling berat bagi penulisnya
sendiri dan tak dapat saya bayangkan jika terjadi dalam hidup saya kelak yakni
Bekerja Lagi? Tak Semudah Itu dan Saya, dan Hanya Saya, Untuk Sehari. Bintang-bintang
ini mewakili cerita (bagi saya) yang memuat konten yang bergizi, banyak
pelajaran dan tambahan plus-plus efek atas pembaca yang bisa berasal dari
kemasan (gaya tutur atau penulisan yang indah), meskipun bintang yang sedikit
tak berarti pula tidak menarik (misal saya bisa senyum-senyum dan tertawa
dengan gaya bahasa Miund yang kocak) tapi tetap saja dengan mekanisme yang saya
serahkan pada tangan ini membentuk bintang-bintang dengan seenaknya (kadang)
tanpa memedulikan faktor yang tersebut sebelumnya. Jadi selamat menikmati
membayangkan dan berimanjinasi, mengalami sambil senyum-senyum sendiri, belajar
menghargai dan mematuhi orang tua bagi anak-anak, dan memahami istri bagi para
suami dengan membaca buku ini.
cover buku EL |
Lisvy NAel. f
18032014
wah, pertama nama saya pakai (i) jadinya Sandi. Kedua saya bicaranya banyak tapi sedikit yang ditulis :D Tapi keren notulensinya, mantap bangettt detail poin-poinnya. Terus abang Amin ko tumben ada foto senyum atau kelihatan giginya. haha sukses dan selamat buat Neng @Lisvy, karena sudah mendapatkan senyumannya aa' Amin :D
BalasHapusMantap riportnya, komunikatif..No coment wes, oia klarifikasi aja, nama Q "Khairul Amin". bukan "Khoirul Amin"..:-) wah @sandi, apa"an tu komentnya..hehe
BalasHapusoh...maap maap mengenai mistyping nama-nama para pencerita hehe,
BalasHapusthanks sudah mampir.
masa ya Amin susah senyum?
*sambilmikir, iya juga sih... itu kan poto dari krop sana sini hehe